Aldi Ynu ANAK BARU
Jumlah posting : 17 Location : Yokohama Job/hobbies : Student Registration date : 10.10.07
| Subyek: Mencuri Klaim, Itu Biasa Sat Dec 22, 2007 10:58 am | |
| Mencuri Klaim, Itu Biasa
Jika Anda berjalan-jalan di Paris, tentu takkan terlewatkan sebuah bulevar bernama Champs Elyssee, di mana toko-toko ternama dunia dan pedestrian yang nyaman membuat pesiar dari seluruh dunia mengenang kecantikannya. Di tengah jalan raya besar itu, Anda bisa memandang lurus ke arah barat dan timur, di mana terbentar Axis de Paris yang dibangun Napoleon Bonaparte untuk membelah kota impian itu.
Dalam aksis yang berujung di La Defense --pusat bisnis supra-modern sebagai antitesis kota tua Paris yang klasik dan antik-- Anda akan menemukan beberapa landmark ibu kota Prancis itu, yang seluruhnya menciptakan kekaguman, juga mewartakan sejarah yang mengesankan. Satu di antara penanda besar itu pasti sulit Anda lewatkan, sebuah monumen bernama Trocadero.
Monumen berjenis menhir dan bebentuk seperti potlot itu membuat bangga warga Paris, bahkan Prancis, selama hampir dua abad. Tapi, maaf, monumen purba itu sebenarnya bukan milik mereka, bukan milik Prancis. Itu barang curian. Dan Napoleon-lah yang mencurinya dari tempat asalnya, Mesir. Tanpa ragu tanpa malu, pencurian itu bahkan diabadikan dalam diorama di kompleks monumen tersebut.
Lebih dari itu, Trocadero sebenarnya juga menjadi monumen aksi pencurian besar-besaran bangsa Eropa, para imperialis modern, terhadap karya-karya besar serta peninggalan sejarah bangsa-bangsa yang dijajahnya di Asia dan Afrika terutama. Lalu mereka berduyun- duyun menciptakan klaim atas barang-barang curian itu, bahkan beberapa di antaranya menjadi referensi identitas sosial/kebangsaan mereka.
Apakah kita di Indonesia hanya mengetahui bagaimana ribuan khazanah pustaka dan artefak kuno kita tersebar di berbagai perpustakaan, museum, atau koleksi pribadi tokoh-tokoh di berbagai kota dunia? Tidakkah Anda juga mengetahui bahwa pencurian itu terjadi pula pada karya-karya atau hak intelektual kita, dalam bentuk tarian, lagu, musik, seni rupa, pertunjukan, olah tubuh, atau sastra, yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun diproduksi dan berkembang di negeri kepulauan ini?
Sesungguhnya, soal curi-mencuri produk intelektual/kultural, atau saling klaim atas kepemilikannya atau posisinya sebagai acuan identitas, sudah menjadi salah satu tradisi di dunia beradab bangsa- bangsa di bumi ini. Sejak dahulu kala. Bahkan ketika Mongol berkuasa di daratan Cina, mereka tidak hanya merebut dan menguasai semua potensi material bangsa besar itu. Melainkan juga merebut dan mengklaim hampir seluruh khazanah seni dan budaya Cina sebagai milik dan sumber identitas mereka yang baru.
Begitu pun ketika Romawi menyerbu dan menguasai Yunani. Hingga saat lalu lintas ekonomi, politik, dan budaya antarbangsa semakin licin dan kuat. Sejarah memperlihatkan bagaimana sebuah negeri atau bangsa mengadopsi bahkan mencuri dan mengklaim --diam-diam atau terbuka-- produk seni atau budaya lain menjadi miliknya. Juga di Indonesia. Ketika beberapa tradisi Arab dijumput oleh komunitas muslim negeri sebagai milik (identitas)-nya, dari soal seni musik, busana, kebiasaan/tradisi, hingga perilaku sehari-hari.
Orang Jawa akan dengan meyakinkan menyatakan wayang sebagai buah karya dan sumber acuan identitasnya. Walau --mereka sadari atau tidak- - hal-hal esensial dalam wayang, bentuk dan ceritanya, sungguh- sungguh diambil nenek moyang mereka dari negeri lain. Bukankah negeri dan bangsa ini, secara keseluruhan, dari Aceh hingga Papua, dari suku Mentawai hingga suku-suku di Flores atau Wamena, telah mengklaim Melayu sebagai bahasa (identitas linguistik/modern) mereka.
Maka, apa yang mesti dirisaukan lagi ketika curi-mencuri dan rebutan klaim semacam itu terjadi kembali di masa kini? Apalagi cuma sekadar lagu Rasa Sayange atau alat musik angklung, misalnya. Negeri ini sudah melakukan hal tersebut, juga menjadi korban perilaku tersebut sejak ribuan tahun lalu. Mengapa kemudian kita harus merinding, kesal, marah, hingga harus mengangkat panji nasionalisme, bahkan seakan siap mencabut kapak perang untuk perilaku lumrah bangsa-bangsa di atas bumi itu?
Dalam pergaulan internasional yang kian intens pada saat ini, perkara itu menjadi hal yang tidak mengherankan, tidak runyam sama sekali. Mungkin setiap hari terjadi curi-mencuri atau klaim atas hak intelektual orang/bangsa lain. Bukankah sudah lama batik, misalnya, diklaim Malaysia sebagai warisan budayanya. Atau klaim atas tempe, kecap (ketchup), hingga sayur laksa yang asli banget Bogor, yang kini justru lebih populer lewat identifikasi "Singapura" di belakangnya. Bahkan banyak sekali restoran Indonesia yang menjual identitas kuliner itu, tanpa rikuh dan risau bahwa itu juga hasil pencurian.
Maka, dalam pergaulan seperti ini, di mana silang budaya, interkulturalisme menjadi kelumrahan global, terjadinya pertukaran karya, impit-mengimpit, pinjam-meminjam, atau saling klaim juga biasa- biasa saja. Masak kita harus ngambek hanya karena melihat Nelson Mandela mengenakan batik dan menjadikannya sebagai salah satu acuan identifikatifnya. Tidak secengeng itu, kan?
Radhar Panca Dahana Pekerja seni dan pemerhati budaya [Perspektif, Gatra Nomor 4 Beredar Kamis, 6 Desember 2007] | |
|